A+ A A-

  • Dilihat: 5854

Pengamen

Sebagai penduduk Jakarta, sehari-hari saya akrab dengan angkutan umum. Sebagai pelanggan setia jasa angkutan umum yaitu bis kota,  maka saya sering juga bertemu dengan pengamen. Mulai dari pengamen cilik sampai pengamen tua. Mulai dari pengamen tradisional (pakai ecek-ecek tutup botol) sampai pengamen modern (membawa tape recorder berisi kaset karaoke).

Dulu, jaman saya masih kecil, pengamen itu hanya berkelana door to door. Dan modal mereka hanya peti sabun yang diberi senar karet, tetapi suara mereka bagus, bahkan mungkin pada jaman itu kode etik untuk terjun ke dunia per-ngamen-an adalah suaranya harus bagus. Sampai-sampai ada juga pengamen yang sekarang sudah jadi penyanyi terkenal. Ketika  lama kelamaan lahan pengamen mulai merambah ke dalam bis kota, mereka sudah tidak peduli lagi pada kode etik per-ngamen-an tadi. Alat musiknya  bukan lagi peti sabun bersenar karet,   tetapi sudah memakai gitar, drum buatan sendiri, suling atau harmonika. Para pengamen juga tidak lagi hanya bersolo karier, mereka bisa berkelompok 3 atau 4 orang naik dalam bis kota. Dan cara mereka mengamen juga makin kreatif. Dimulai dengan sapaan kepada penumpang lengkap dengan latar belakang kegiatan (persis seperti mengajukan proposal kegiatan di kantor saya) barulah mereka menyanyi, bahkan ada juga yang menambahinya dengan puisi.

Bicara tentang puisi, saya ingat pengalaman pertama saya dengan metode mengamen dengan puisi ini. Pada suatu sore,  ketika saya pulang kantor, saya duduk terkantuk-kantuk di dekat jendela bis Patas AC. Sedang enak-enaknya tertidur tiba-tiba terdengarlah suara menggelegar, “REVOLUSI !!!”  Spontan saya terbangun dan terkaget-kaget. Ada apa? Maklum, jaman itu sedang hangat-hangatnya berita penyerangan kantor salah satu Partai Politik di Jakarta. Teman duduk saya, seorang Bapak setengah baya menenangkan, “nggak ada apa-apa kok, itu cuma tukang ngamen…” Agak malu juga saya, dalam hati saya menggerutu, “ngamen sih ngamen, tapi jangan ngagetin orang dong.”

Pengamen memang tidak merasa perlu  memikirkan konsumennya. Pokoknya ketika ia naik dalam bis kota, menyapa penumpang dengan kata-kata yang tidak jelas (seperti orang sedang berkumur) lalu, jreeeng, jreeeng, jreeeng, mulailah mereka menyanyi. Yang terjadi bukannya orang tergerak untuk memberi, malah orang menggerutu dan lebih banyak yang menolak untuk memberi. Tetapi tidak semua orang peduli dengan suara bagus. Seperti respons seorang gadis terhadap pengamen dalam bis yang saya tumpangi  dalam perjalanan ke Depok,. Seperti biasa, setelah salam basa-basi ia mulai memetik gitarnya. Mudah ditebak, ia menyanyi dari Barat sampai ke Timur (gitar ke Barat suara ke Timur). Ia menyanyi dengan penuh percaya diri. Lagu-lagu rock Nicky Astria, lagu-lagu lama Panbers, dan Dunia ini Panggung Sandiwara-nya Ahmad Albar. Suaranya keras melengking. Bapak yang duduk di depan saya sampai menengok ke belakang untuk memastikan apakah ada Tarzan yang ikut dalam bis ini. Tetapi aneh bin ajaib, gadis remaja yang duduk di sebelah saya malah bersenandung mengikuti lagu pengamen itu. Dan rasanya pengamen itu tahu bahwa ia punya penggemar, buktinya dari Komdak sampai Lenteng Agung ia tidak berhenti menyanyi, dan sang gadispun terus ikut bersenandung.

Tidak semua pengamen menyebalkan begitu, ada juga yang mengharukan. Seperti yang pernah saya alami.   Dalam perjalanan pulang kantor, saya bertemu dengan seorang anak laki-laki, kira-kira berusia 10 tahun. Dia tidak sendirian. Dia menggendong seorang gadis kecil (kecil sekali, mungkin usianya baru 2 tahunan), agak bersusah payah ia membagi-bagikan amplop kecil lusuh bertuliskan permohonan bantuan. Lalu dia menurunkan adiknya dan sambil memegang adiknya ia menyanyikan lagu yang tidak jelas apa judulnya dan iramanya. Yang mengharukan, gadis kecil itu ikut menjadi backing vocal, dengan ber aaaaaaahhh, uuuuuuuhhh (ya jelas,  dia kan belum bisa bicara). Kemudian si kakak mengumpulkan lagi amplop-amplop itu. Lumayan juga hasilnya. Mungkin gadis kecil itu yang jadi pembawa rejeki dengan aaaaaahhh – uuuuuuhh nya yang lucu.

Ada juga gaya pengamen yang benar-benar menghibur. Saya pernah bertemu dengan pengamen yang seperti itu. Pakaiannya rapi, rambutnya juga rapi, kata-katanya sopan dan yang jelas suaranya bagus. Pakai iringannya biola, dan ia memainkannya sendiri. Keren banget. Dalam hati saya berpikir, “pasti dia ini mahasiswa yang sedang ambil mata kuliah yang perlu pengamatan langsung ke masyarakat (untuk bahan penelitian skripsinya kali ).

Lain lagi pengalaman teman saya. Dalam sebuah bis kota, Patas AC, ia dan temannya bertemu dengan seorang pengamen bergitar. Setelah mengucapkan salam, ia mulai menyanyi. Teman saya itu tidak memperhatikan sang pengamen. Ia sibuk ngobrol, biasa bergosip. Ketika pengamen itu menyodorkan kantong uangnya, kedua teman saya mengangkat tangan, tanda tidak memberi uang. Tidak disangka, tiba-tiba pengamen itu marah, “makanya, kalau ada orang nyanyi itu didengerin, jangan ngobrol sendiri aja.”  Kedua teman saya cuma bisa bengong. Kok bisa ya pengamen marah sama customernya ?

Tapi anda pernah bertemu dengan pengamen yang pasrah tidak jadi mengamen karena kehilangan nada dasar ? Teman saya pernah. Jadi ceritanya, lagu yang ingin dia nyanyikan adalah “Dunia ini Panggung Sandiwara”,  ketika ia sudah selesai menyapa penumpang ia mulai dengan jreeeeeng pertama, “dunia ini ….,

Lalu ia berhenti, “maaf, ketinggian nadanya…” Ia mencoba nada dasar lain ..……

“Duuuuu………, Wah masih ketinggian….” Ia mencoba nada dasar lain, ia menyetel gitarnya …..”duuuu …… Lho kok, kerendahan……? Maaf bapak-bapak, ibu-ibu …. Saya coba lagi” Iapun menyetel gitarnya lagi, dan mencobanya,  “Duuuu……., wah kok nggak pas juga ya ?”  Setelah beberapa kali ia mencoba, ia mulai bingung dan merasa tidak percaya diri, lalu ia berkata, “Yah sudahlah Bapak-bapak, Ibu-Ibu, Kakak-kakak sekalian, saya tidak jadi menyanyi saja, tetapi kalau rela bolehlah saya diberi sedikit untuk makan hari ini…..”  Lain kali kalau mau ngamen latihan dulu dong.