- Ditulis oleh Yohanes W.
- Dilihat: 9915
Belas Kasih-Nya Hadir Dalam Pergumulan

Shalom Aleichem,
Pandemi virus SARS-COV2 telah menerpa Indonesia sejak lima bulan dan belum ada tanda akan mereda. Saat ini angka positif Covid-19 di Indonesia telah menembus lebih dari 110.000 kasus dengan angka kematian akibat terpapar Covid-19 pun lebih dari 5.000 orang. Pada awalnya konfirmasi kasus pertama Covid-19 di Indonesia diumumkan oleh Presiden Joko Widodo pada 2 Maret 2020, dengan dua orang WNI yang terkonfirmasi positif covid-19.
Kasus tersebut terdeteksi dengan adanya informasi perihal seorang warga Jepang yang dinyatakan terpapar covid-19 setelah meninggalkan Indonesia dan tiba di Malaysia. Hasil penelusuran ternyata mengungkapkan, seorang Jepang yang ke Indonesia bertemu dengan dua orang WNI, ibu 64 tahun dan putrinya 31 tahun. Kedua orang WNI tersebut pula yang dinyatakan sebagai kasus pertama Covid-19 di Indonesia.
Sebagaimana virus SARS-COV2 telah menjadi pandemi global, tentu berdampak pula bagi Indonesia. Pandemi covid-19 yang menerpa Indonesia kemudian menjadi hal yang sangat mengkhawatirkan dan menakutkan bagi masyarakat di Indonesia. Meskipun pemerintah telah bertindak dalam berbagai cara dalam penanganan pandemi covid-19, namun dalam perkembangannya belum ada virus itu dapat dikendalikan dan mereda.
Kasus pandemi covid-19 tersebut tentu memiliki ceritanya, begitu pun saya. Saya sendiri adalah salah satu yang pernah terpapar dan menjadi penyintas covid-19. Puji syukur kepada Tuhan Yesus, karena saya diberi kesembuhan dan dapat kembali berkumpul dengan keluarga, setelah sekitar enam puluh hari harus terpisah.
Adapun peristiwanya saat itu dimulai pada 21 Maret 2020, dengan timbulnya gejala batuk dan demam, hasil pemeriksaan dokter Poliklinik di Kantor, saya didiagnosa radang tenggorokan, sehingga hanya diberi obat antibiotik serta istirahat di rumah. Namun hingga hari ketiga, demam belum reda sehingga berinisiatif memeriksakan diri ke RS UKI, saat itu suhu tubuh saya 38,6oC. Awal diagnosa dokter di RS UKI dari hasil pemeriksaan darah adalah DBD dikarenakan trombositnya di bawah normal, dan saya rawat-inap beberapa hari.
Setelah dua hari menjalani perawatan inap di RS, dokter mengambil tindakan dengan pemeriksaan darah, rontgen, CT-Scan paru, dan swab test. Dokter yang merawat saya pada waktu itu kekeuh bahwa hasil paru saya mengarahkan pada Covid-19. Namun sebelum hasil swab test keluar, saya sudah diperbolehkan pulang oleh dokter yang merawat karena gejalanya dianggap cukup ringan dengan catatan harus isolasi mandiri.
Kemudian pada tanggal 3 April, hasil swab keluar dan saya dinyatakan positif Covid-19.
Sejak dinyatakan positif, saya pun diharuskan melakukan isolasi mandiri tidak di rumah yang saya tinggali. Sehingga sejak 4 April 2020, saya sudah mulai tidak bersama dengan keluarga, karena saya harus isolasi mandiri di luar rumah dinas yang saya dan keluarga tempati. Tidak bertemunya saya dengan keluarga, khususnya dengan istri inilah yang membuat pikiran saya menjadi stress, karena selama ini istri saya ada dalam pendampingan saya, mengingat kondisinya yang sakit gangguan ginjal, apalagi ketika saya sedang berada dalam perawatan di RS UKI, istri saya juga kondisinya mengalami penurunan atau drop, sehingga harus dibawa ke RS, dan harus dilakukan pemeriksaan rapid test, dan saya sangat bersyukur kepada Tuhan Yesus, ketika hasil pemeriksaan rapid test tersebut non-reaktif, setidaknya dapat mengurangi tingkat kesetressan saya.
Setelah saya menjalani masa isolasi mandiri sekitar 10 hari, tepat pada 14 April 2020 saya melakukan pemeriksaan swab test yang kedua di Puskesmas. Dokter pada RS UKI pernah mengatakan kepada saya bahwa jika bergejala ringan kemungkinan dalam 1-2 minggu akan sembuh dengan sendirinya. Penuturan dokter itulah yang membuat saya berharap hasil swab test di puskesmas adalah negatif. Namun demikian, hasilnya di luar harapan saya. Pada 19 April 2020, Puskesmas menelepon saya dan memberikan hasil swab testnya dan ternyata hasilnya masih positif. Padahal di sisi lain, saya merasa sudah sehat tapi kok hasilnya masih tetap positif?
Hasil yang demikian membuat saya jadi “protes” dengan Tuhan Yesus, karena sudah minta sama Tuhan lewat doa. Dalam sehari saja paling tidak saya minta lima kali agar hasil swab test kedua adalah negatif. Namun kok hasilnya tetap positif? Hasil yang masih positif tersebut, Puskesmas merekomendasikan saya untuk dirawat dengan pendampingan kesehatan, maka dirujuklah saya ke RSDC (Rumah Sakit Darurat Covid) Wisma Atlit. Pada hari Rabu, 22 April 2020 saya dirujuk ke RSDC Wisma Atlit dan dibawa dengan ambulance khusus Covid dari Puskesmas.
Setelah tiba di RSDC Wisma Atlit, saya dilakukan pemeriksaan awal oleh pihak dokter. Pemeriksaannya meliputi pemeriksaan darah, tensi darah, dan rontgen. Ketika pemeriksaan tensi darah, saya terkejut tensi saya mencapai 170 lebih. Padahal biasanya tensi saya selalu normal atau dalam batas standar. Sehingga dengan tensi yang tinggi tersebut, penyakit saya bertambah satu yaitu hipertensi. Setelah pemeriksaan awal selesai, saya kemudian masuk kamar isolasi mandiri di Wisma Atlit.
Selama saya berada di Wisma Atlit ada pemeriksaan swab test yang dilakukan sebanyak dua kali, yaitu pada, 29 April 2020 serta 5 Mei 2020. Puji Tuhan Yesus, hasil pemeriksaan pertama pada 29 April 2020 adalah negatif. Oleh karena itu, saya menghubungi keluarga (istri dan anak-anak) dan saya ajak berdoa bersama sebagai bentuk syukur. Hasil yang negatif setelah sebulan dinyatakan positif Covid-19 menjadikan momen itu sebagai momen yang emosional, saya sampai menangis saat berdoa dengan keluarga. Hasil yang negatif ini, saya sampaikan pula kepada Bapak Pendeta Hendrik Tiwow dan Bapak Pendeta Jhony Lontoh, karena kedua hamba Tuhan ini yang saya hubungi untuk mohon bantuan doanya. Saya terbiasa untuk menghubungi hamba Tuhan apabila di keluarga ada yang sakit dan dalam perawatan di RS, dan kebetulan saya kenal baik dan ada nomor kontaknya, sehingga saya hubungi kedua hamba Tuhan tersebut. Hal seiras, saya pernah lakukan saat istri masuk ICU RS UKI tahun 2006 dengan tekanan darah saat itu sangat tinggi, yaitu 230/150 dan dalam keadaan ‘koma’. Saat itu KMJ saya adalah almarhum Pendeta WTC Melatunan.
Untuk dinyatakan sembuh dari Covid-19, prosudernya harus dilakukan dengan dua kali swab test dan hasilnya negatif. Kemudian pihak RSDC Wisma Atlit kembali melakukan swab test kepada saya pada 5 Mei 2020. Namun pemeriksaan kedua belum keluar hasilnya, pada 6 Mei 2020 saya sudah dianjurkan pulang untuk isolasi mandiri di rumah hingga tanggal 19 Mei 2020 atau hasil tes kedua keluar. Saya keluar dari RSDC Wisma Atlit dengan bekal Surat Keterangan Sehat sambil menunggu hasil swab test yang kedua. Isolasi mandiri yang saya lakukan tidak di rumah yang saya tempati, tetapi di tempat saat sebelum masuk ke RSDC Wisma Atlit. Sampai berakhirnya masa isolasi mandiri, hasil swab test yang keempat atau swab test kedua setelah hasil negatif belum ada kabarnya. Sehingga saya coba menanyakan ke Bagian Perawatan di RSDC Wisma Atlit, saya “dilempar” agar menanyakan ke Bagian atau Tim Swab, dan “dilempar” lagi ke Call Centre 119, yang sampai beberapa hari saya belum mendapatkan hasilnya.
Pada 25 Mei 2020, saya baru mendapat kabar chat via WA dari Bagian Perawatan RSDC Wisma Atlit yang isinya menjelaskan bahwa saya harus swab test ulang. Hasil yang demikian justru membuat saya kembali menjadi stress dan hampir putus asa. Bagaimana tidak? Hasil penantian yang begitu lama menurut saya, kok tiba-tiba mendapat berita yang di luar harapan saya? Dalam kondisi tersebut, saya berusaha menghubungi dokter di kantor, yang kebetulan sudah ada peralatan swab test, dan pada 26 Mei 2020 dilakukan pemeriksaan swab test. Sehari berikutnya saya mendapatkan kabar bahwa hasilnya negatif. Dua kali hasil negatif, dokter Poliklinik langsung menyampaikan bahwa saya diperbolehkan pulang ke rumah.
Selama saya menjalani masa isolasi mandiri dan menunggu hasil swab test — saat di RSDC Wisma Atlit maupun di rumah yang disewa dinas untuk saya — kegiatan yang saya lakukan salah satunya adalah olahraga kecil di dalam kamar. Selain itu, saya pun berusaha untuk semakin memahami betapa pentingnya lebih dekat dengan Tuhan, terlebih dalam situasi atau masa-masa yang saya anggap sebagai situasi yang sangat sulit, sehingga dalam masa isolasi saya pahami, bahwa yang ada hanya saya dan Tuhan.
Oleh karena itu, saya coba membaca Alkitab walaupun hanya satu atau dua ayat sehari, dan dimulai dari kitab Perjanjian Lama, namun saat ini baru sampai beberapa kitab dan belum “khatam”. Selain itu, saya terus berusaha untuk datang kepada Tuhan Yesus dalam doa, setidaknya setiap 2-3 jam sekali, meminta pertolongan dan belas kasihanNya agar mendapatkan pemulihan dan kesembuhan. Doa yang saya lakukan, pagi dengan bersyafaat untuk semua, dan malam bersyafaat khusus untuk keluarga, serta pada waktu-waktu tertentu, biasanya 2-3 jam sekali, khusus untuk kesembuhan saya.
Selain kegiatan-kegiatan di atas saat saya menjalani masa isolasi mandiri. Ada pula berbagai tahapan telah saya lalui selama masa “sendiri” saya. Pada awalnya mulai munculnya ‘penyangkalan’ karena ketidakpercayaan saya dengan hasil swab test, masih positif. Sehingga saya sampai pada mendekati stress dan memicu tekanan darah menjadi cukup tinggi. Meskipun dalam proses ini, saya justru berusaha untuk terus berdoa dan minta pertolongan Tuhan, namun belum dapat menerima kondisi yang saya alami. Selanjutnya, pada minggu-minggu berikutnya saya mulai dapat memahami kenyataan yang ada bahwa saya terpapar virus SARS-COV2, sehingga mulai dapat menerima kondisi tersebut. Dengan penerimaan inilah saya belajar untuk mengendalikan diri dan emosi saya, sambil terus berdoa kepada Tuhan Yesus.
Pada saat itu tahapan yang saya rasakan adalah kesadaran diri, saya menyadari bahwa Tuhan Yesus izinkan semua yang saya alami, Tuhanpun tidak membiarkan saya untuk berjalan dan menghadapinya sendiri. Dengan keyakinan yang sungguh disinilah saya mulai belajar untuk berserah kepada TuhanYesus atas pergumulan saya. Apalagi pergumulan yang saya hadapi, bukan saja dengan sakit covid-19, namun juga istri yang kondisinya perlu pendampingan saya sebagai suami, karena sakit gangguan fungsi ginjal, yang sudah pada stadium lima. Penyerahan diri kepada Tuhan Yesus itulah yang menjadi bagian proses yang membuahkan hasil, karena saya dapat merasakan. Sekalipun proses ini lama, tetapi Tuhan Yesus senantiasa memberikan jalan, pada akhirnya dokter menyatakan kesembuhan dan pemulihan serta memperbolehkan saya pulang untuk kembali berkumpul dengan keluarga.
Bagi saya, berserah dan berharap serta dengan tetap mengandalkan Tuhan Yesus hanya itulah kunci mengatasi pergumulan hidup. Tentu di dalamnya juga ada kesabaran dan ketekunan, saya yakin bahwa Tuhan Yesus bersama dengan saya dalam menghadapi pergumulan itu. Intinya adalah saat saya dihadapkan dengan pergumulan, maka solusi yang terbaik untuk dilakukan yaitu berserah atau menyerahkan pergumulan itu kepada Tuhan dan berharap atau tetap terus mengharapkan Tuhan dalam doa yang seharusnya tidak pernah putus. Mengandalkan Tuhan adalah cara satu-satunya. Hal ini dilakukan, karena menyadari bahwa saya sebagai makhluk adalah lemah dan rapuh serta tidak berdaya sehingga tidak mampu menghadapinya pergumulan sendiri. Solusi atas pergumulan saya hanya Tuhan yang sanggup memberikanNya.
Dalam doa-doa yang saya panjatkan kepada Tuhan Yesus, biasanya saya mengawali dengan pujian: Mampirlah dengar doaku, Yesus Penebus; Orang lain Kau hampiri, Jangan jalan terus … … … Yesus Tuhan, dengar doaku; Orang lain Kau hampiri, Jangan jalan terus dst… atau dengan pujian: Tak tersembunyi kuasa Allah, kalau lain ditolong saya juga, tanganNya terbuka menunggulah; Tak tersembunyi kuasa Allah... dst... Lebih dekat kepada Tuhan Yesus melalui pujian dan doa-doa yang saya panjatkan itulah yang semakin saya rasakan. Tuhan Yesus memang luar biasa buat saya, karena Dia mendengar keluh kesah saya. Sehingga Ia merangkai air mata saya menjadi permata, sebagaimana pujian dari Pendeta J.E. Awondatu: Kau rangkai air mataku jadi permata: Kau ubah kabut hitamku menjadi sutra; Kepahitan, kesukaran Kau ubah jadi bintang-bintang; Kau rangkai air mata jadi permata, dst… Tuhan Yesus memberikan kesembuhan dan pemulihan untuk saya, sehingga saya dapat kembali menjalani aktivitas kehidupan secara normal.
Jadi berserah, berharap dan mengandalkan Tuhan adalah kunci dalam menghadapi pergumulan hidup dan bukan hanya untuk saya, tetapi juga saudara pembaca.
Tuhan Yesus memberkati.
Jakarta, Agustus 2020
Yohanes W.