- Ditulis oleh Tri Esti Handayani, S.Th.
- Dilihat: 3600
Another Magic Word : “Maklum”

Lho? Mengapa? Kok bisa? Barangkali itulah pertanyaan yang segera bermunculan ketika membaca judul di atas. Memang saya sengaja memunculkan judul yang menimbulkan pertanyaan. Sebab kata penulis terkenal, rumusan judul sebuah tulisan memegang peranan penting dalam kesuksesan tulisan itu. Kalau judulnya menarik, maka besar kemungkinan orang juga akan tertarik untuk membaca isinya.
Terlepas dari menarik atau tidak judul yang saya buat, tulisan ini tetap akan menjawab pertanyaan yang muncul trentang mengapa kata “maklum” saya nobatkan sebagai magic word selain “terima kasih”, “tolong”, “maaf”, atau “silahkan” (atau kata-kata lain yang bermakna luhur dan sopan).
Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering mengalami banyak persoalan dengan sesama. Persoalan yang dipicu oleh berbagai hal, seperti perbedaan pendapat, ketidakserasian pandangan, kesalahpahaman komunikasi dan sebagainya. Persoalan yang kita hadapi juga bervariasi ukurannya. Dari yang sepele, remeh, sampai yang besar dan serius. Bila kita tak pandai menyikapinya maka akan berdampak fatal bukan hanya bagi hidup kita pribadi, tetapi juga bagi kehidupan kita bersama orang lain di tengah masyarakat.
Di sinilah kita dapat melihat pentingnya kata “maklum” itu. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) kata maklum berarti paham, atau mengerti. Kedua kata ini memiliki arti yang luas. Apabila kata paham diberi awalan me dan akhiran i (me-maham-i), maka berarti mengerti dengan sesungguh-sungguhnya apa yang dimaksudkan. Tetapi maklum memiliki arti yang lebih dalam dari sekedar memahami. Maklum lebih menuntut kerelaan untuk menerima keadaan yang dihadapi. Kita bisa menerima perilaku anak kecil yang rewel, karena kita maklum, bahwa anak-anak lebih jujur dalam berekspresi, kita bisa maklum pada keterlambatan jadwal kedatangan KRL Jabotabek, karena sudah biasa, bahkan kita bisa maklum pada sopir metromini yang ugal-ugalan karena memang mereka sedang kejar setoran.
Nah, apabila untuk hal-hal seperti itu kita bisa maklum, maka tentunya kita juga bisa mengaplikasikannya pada situasi yang sangat penting bagi kelangsungan hubungan kita dengan sesama. Jika pada jadwal kedatangan KRL kita bisa maklum, mengapa kita tidak mau memaklumi teman kita yang terlambat datang rapat? Jika kita bisa memaklumi sopir Metromini yang ugal-ugalan, mengapa kita tidak bisa memaklumi tetangga kita yang suka menyetel televisinya keras-keras?
Ketika kita mengambil sikap maklum, sesungguhnya kita seolah-olah sedang menempatkan diri jauh tinggi di atas, sehingga kita dapat melihat suatu masalah tidak hanya dari satu sisi, melainkan mencoba meneropongnya dari segala arah. Jika kita mengambil sikap maklum, kita juga sedang mencoba menggunakan kacamata yang lain dan berusaha melihat hal-hal yang tidak dapat dilihat orang lain. Dengan maklum, kita juga mencoba memahami “rahasia” di balik perilaku atau tutur kata seseorang. Maklum, memungkinkan kita memberi makna baru dari sebuah peristiwa, dan akan menghasilkan reaksi yang berbeda juga. Maklum bukan hanya berdampak positif bagi orang lain, tetapi sekaligus memberi dampak positif bagi diri sendiri, sebab maklum membuat kita tetap berpijak pada hal-hal baik yang kita pakai sebagai dasar kita memaklumi orang lain.
Jadi tidak salah bukan, jika maklum kita nobatkan sebagai kata ajaib yang meskipun tidak diucapkan namun menjadi pendorong yang besar untuk kita dapat membina kerukunan hidup. Kalau maklum tidak dapat diterima, yah …. Maklumilah bahwa penulisnya bukan penulis terkenal. Maklumlah, tulisan ini juga adalah tulisan “dadakan” yang diminta untuk segera selesai. Maklumlah bahwa untuk menghasilkan tulisan yang bagus perlu …… (maklumlah ….Apa lagi ya? Cari-cari alasan ….. ). Mudah-mudahan Anda dapat memakluminya.