- Dilihat: 12075
Kasih Tuhan Yang Mengalir Dalam Cinta Kasih Kepada Sesama
Lukas 9 : 46 - 48
Meister Eickhart, seorang teolog spritualitas yang hidup membiara asal Jerman pernah mengatakan demikian “Beberapa orang ingin melihat Tuhan menurut kacamata mereka sebagaimana mereka melihat seekor sapi.
Untuk mencintai Dia seperti mencintai sapi mereka. Mereka mencintai sapi mereka untuk mendapatkan susu dan kejunya dan sepenuhnya mengolah keuntungan sapi itu demi kepentingan mereka. Ini bagaimana yang terjadi bagi orang-orang yang mencari Tuhan demi keuntungan semata dan kenyamanan pribadi. Mereka tidak sepenuhnya mencintai Tuhan, ketika mereka mencintaiNya untuk keuntungan mereka. Sesungguhnya, kita harus berefleksi mengenai makna cinta yang ada dipikiran kita, meskipun itu baik mungkin hal itulah yang menjadi rintangan antara dirimu dan Yang dicintai (Tuhan)”.
“Mencintai Tuhan demi keuntungan kita”. Apakah hal ini sesungguhnya juga tertanam dan tersembunyi dalam hati dan pikiran kita masing-masing? Ada cerita yang menarik mengenai hal ini. Ketika anak-anak teologia mendirikan pos tanggap bencana di daerah Kaliurang pada waktu bencana meletusnya Gunung Merapi yang melanda kota Jogjakarta dan sekitarnya pada bulan November 2010. Beberapa anak-anak teologia yang notabene tidak ikut serta secara langsung membantu korban dalam posko tersebut menulis dalam dinding (wall) facebooknya demikian “Membantu orang yang menderita dengan tulus tanpa embel-embel apapun!!”. Hal ini langsung memancing kemarahan (tersinggung) teman2 yang ada di posko tersebut dan seketika wall (facebook) orang yang menulis itu sukses mengantongi berbagai macam komentar yang isinya pro maupun kontra. Hal inilah yang menjadi pergumulan ketika kita menanyakan kepada diri kita “Apakah ada cinta yang benar-benar tulus tanpa embel-embel apapun”
Bukankah ini yang terjadi dalam bacaan kita hari ini? Teks ini sebenarnya diawali oleh kecemburuan murid-murid Tuhan Yesus yang merasa tidak dihargai, tidak dihormati dan tidak dianggap ketika Tuhan Yesus memanjatkan doa di puncak gunung (lihat Lukas 9:26-36). Yang diajak hanya tiga murid yaitu Petrus, Yohanes dan Yakobus. Lalu munculah perdebatan yang tidak dapat dielakkan lagi akibat kecemburuan dan irihati yang muncul diantara para murid. Sebenarnya siapakah yang terbesar, terbaik, terhebat diantara para murid? Jika yang diajak hanya tiga murid itu, Apakah benar hanya mereka yang teristimewa diantara murid-murid Tuhan yang lain? Hal ini tentu saja salah besar karena diantara murid-murid, ada yang menganggap bahwa kehadiran Yesus di dunia bertujuan untuk membangun kerajaan duniawi dimana kekayaan, kehormatan dan kedudukan merupakan sesuatu yang prestisius (tolak ukur). Yesus dianggap sebagai seorang Mesias yang akan memimpin Israel menaklukan kerajaan Romawi yang telah menduduki tanah mereka dan terbebas dari penjajahan Romawi.
Yesus mengetahui apa yang mereka pikirkan!! (9:47) Oleh sebab itu, Dia mengambil contoh seorang anak kecil dan ditempatkan disampingnya, “Suatu tempat yang paling terhormat bagaikan seorang tangan kanan Raja bukan?” Ada dua alasan mengapa Yesus menggunakan simbol anak kecil. Yang pertama karena anak kecil menandakan kerendahan dan ketulusan hati yang tidak berpura-pura (polos). Yang kedua adalah anak kecil melambangkan yang terkecil dalam masyarakat, belum dianggap dalam peran kedewasaan bahkan persekutuan.
Yesus mengatakan bahwa siapapun yang menerima anak kecil seperti ini maka orang itu menerima Dia dan siapa yang menerima Dia maka orang itu menerima Allah . Apakah artinya ini? Murid-murid yang berjumlah dua belas itu adalah orang-orang pilihan Yesus, tetapi anak kecil itu tidak memiliki tempat terhormat dan tidak memiliki kedudukan yang resmi. Seakan Yesus ingin berkata “Jikalau anda bersedia memberikan hidupmu bagi pelayanan, membantu dan mencintai orang yang di mata dunia tidak mempunyai apa-apa maka anda sudah melayani Aku dalam kerajaan Allah”
Sebenarnya ada banyak motif yang keliru apabila seseorang melakukan pelayanan. Ada keinginan untuk mencapai prestise. Kita bekerja bukan hanya demi manusia tetapi bagi Allah. Dan kalau kita bekerja bagi Allah maka prestise bukanlah hal yang penting.
Ada keinginan untuk memperoleh tempat atau kursi jabatan. Kalau seseorang dipilih sebagai Penatua atau diaken maka ia tidak boleh memandangnya sebagai kehormatan baginya akan tetapi sebagai tanggung jawab untuk melayani umat Tuhan.
Ada keinginan untuk menjadi yang terutama dan ingin dihormati banyak orang yang bekerja sekian lama dalam sebuah jabatan agar orang dapat memuji, menghormati, berterimakasih kepadanya. Bukankah segala pujian dan hormat hanya untuk Allah. Bukankah Yesus mengajarkan, jika kita memberi dengan tangan kanan hal tersebut tidak boleh diketahui oleh tangan yang lain
Yang terpenting adalah bagaimana ketulusan cinta kita dalam mengasihi Tuhan Yesus mengalir dalam ketulusan kita mengasihi orang lain yang menderita dan memerlukan. Untuk mencapai suatu kesempurnaan iman (orthovital) maka harus ada keseimbangan antara orthodoksi (pengetahuan iman mengenai kasih, cinta serta ketulusannya kepada Tuhan) dengan ortopraksis (tingkah laku nyata sebagai wujud iman dalam kehidupan). Ketulusan cinta kepada Tuhan (relasi vertikal) harus mengalir dalam ketulusan cinta kasih kepada sesama dalam perbuatan nyata (relasi horizontal).
Sungguh sangat disayangkan jika sebuah keluarga kristen sebagai pembawa, pengajar dan pelaku kasih dan damai sejahtera dalam kehidupannya lebih mementingkan keinginan untuk memperoleh kekayaan, jabatan, kekuasan dan kehormatan akan tetapi melupakan atau mengesampingkan cinta dan kasih sayang yang bersumber dalam Yesus Kristus dalam keluarganya sendiri. Mother Theresa pernah mengatakan “Mudah mencintai orang yang jauh dari kita. Tetapi tidak mudah menunjukkan rasa cinta kepada mereka yang dekat di sekitar kita. Jauh lebih mudah pula memberi sepiring nasi untuk mereka yang kelaparan, dibandingkan meringankan rasa sedih, hampa dan kesepian dari mereka yang tidak mendapatkan kasih sayang di rumah kita sendiri. Berikan cinta kita yang sebesar-besarnya di rumah kita, di antara keluarga kita. Karena di rumahlah seharusnya rasa cinta yang kuat terhadap sesama itu berasal.”
Bagaimana mungkin kita mengalirkan, memberikan dan mewujudkan cinta kasih kepada sesama jika dalam keluarga saja tidak ada cinta, kasih sayang, senyuman, sentuhan, candaan dan damai sejahtera? Bagaimana bisa kita mewujudkan damai sejahtera dalam keluarga jika kedekatan dengan Tuhan Yesus melalui doa, persekutuan dan puji-pujian tidak pernah kita kumandangkan dalam keluarga kita?